KEJURUAN BESITANG
Landasan Hukum dan Sejarah Hutan Adat Kedatukan Besitang Kesultanan Negeri Langkat
Langkat, Sumatera Utara —
Hutan Adat Kedatukan Besitang merupakan bagian dari warisan sejarah dan kedaulatan lokal Kesultanan Negeri Langkat yang telah ada jauh sebelum penjajahan Belanda. Wilayah hutan sekunder ini diakui secara adat sebagai milik masyarakat adat Kedatukan Besitang.
Pengakuan resmi terhadap status wilayah ini dimulai ketika Datok OK. H. Abdul Chalid—seorang tokoh adat Kedatukan Besitang—mengakui dan menjalin perjanjian dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Berdasarkan Keputusan Kedatukan No. 16 tertanggal 27 Desember 1927 dan kemudian diperbaharui melalui Keputusan No. 138 tertanggal 8 Agustus 1935 serta peta pengaturan batas tertanggal 8 April 1936, wilayah ini ditetapkan seluas 79.100 hektar.
Setelah kemerdekaan Indonesia, wilayah ini bertransformasi nama menjadi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagaimana tercantum dalam Pengumuman Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/11/1980 tertanggal 6 Maret 1980. Namun demikian, selama periode 1970–1990, kawasan hutan adat Kedatukan Besitang mengalami perambahan dan penguasaan secara sepihak oleh pihak-pihak tertentu, termasuk pengusaha HPH seperti Tek Liong dan RGM.
Pihak Balai Besar TNGL kemudian melakukan tindakan represif terhadap masyarakat adat, termasuk kriminalisasi warga yang masih mempertahankan hak atas tanah adat mereka.
Namun, putusan penting dari Pengadilan Negeri Stabat dengan Nomor 105/Pid.B/LH/2017/PN.Stb menyatakan secara tegas bahwa:
"Blok Hutan Sei Bamban Wilayah IV Besitang, Kabupaten Langkat, bukan termasuk kawasan Hutan TNGL."
Putusan ini memperkuat posisi hukum masyarakat adat Kedatukan Besitang untuk mempertahankan hak ulayat mereka yang telah turun-temurun dijaga.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan dan adat istiadat, Kedatukan Besitang tetap menjaga hutan sebagai bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup masyarakatnya. Warga diberi perlindungan dan hak untuk mengelola lahan, namun tetap diwajibkan menjaga ekosistem, menanam pohon-pohon endemik, serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal.
Hutan Adat Kedatukan Besitang bukan sekadar warisan, tetapi bukti eksistensi masyarakat adat yang menjaga keseimbangan alam dan hak hidup keturunannya di atas tanah leluhur mereka sendiri.
liputan : TIM