Akademisi Nommensen Kritik PT TPL: Tak Hormati Kultur Adat Batak, HGU Harus Dicabut
Medan – Polemik keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali mendapat sorotan tajam. Kali ini datang dari Dr. Dimpos Manalu, akademisi Universitas HKBP Nommensen Medan. Ia menilai PT TPL tidak menjalankan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam aktivitasnya, serta tidak menghormati kultur dan hak-hak masyarakat adat Batak yang selama ini menggantungkan hidup dari tanah ulayat.
“PT TPL tidak menjalankan prinsip FPIC, juga tidak menghormati kultur masyarakat adat Batak. Hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat telah dikesampingkan demi kepentingan perusahaan,” tegas Dr. Dimpos Manalu, Senin (23/9/2025).
FPIC yang Diabaikan
FPIC merupakan prinsip dasar yang diakui secara internasional, di mana setiap perusahaan atau proyek yang masuk ke wilayah adat wajib mendapat persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat yang terdampak. Namun menurut Dimpos, TPL justru kerap menjalankan pola “main klaim” melalui sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tanpa dialog mendalam dengan pemilik ulayat.
Hal ini melahirkan konflik berlarut antara perusahaan dan masyarakat adat Batak yang merasa dirugikan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun kultural.
Payung Hukum Nasional
Menurut Dimpos, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan turunannya secara jelas mengakui eksistensi hak ulayat masyarakat adat. Dalam Pasal 3 UUPA, negara berkewajiban menghormati dan melindungi tanah ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan dipraktikkan masyarakat hukum adat setempat.
“Jika negara melalui BPN dan Kementerian ATR/BPN masih terus memberikan atau memperpanjang HGU TPL di atas tanah ulayat Batak, itu jelas bertentangan dengan UUPA. Pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi,” tegasnya.
Tuntutan: Cabut HGU dan Tutup TPL
Polemik ini sudah lama menimbulkan keresahan di berbagai wilayah adat Batak, seperti di Kabupaten Toba, Humbang Hasundutan, hingga Simalungun. Masyarakat menilai kehadiran TPL lebih banyak merugikan dibanding memberikan manfaat.
Oleh karena itu, Dimpos mendesak pemerintah agar:
-
Mencabut HGU PT TPL yang berdiri di atas tanah ulayat Batak.
-
Menghentikan seluruh aktivitas TPL sampai ada kepastian hukum yang berpihak kepada masyarakat adat.
-
Menjalankan redistribusi tanah sesuai UUPA dengan memulihkan hak ulayat masyarakat adat Batak.
“Sudah saatnya pemerintah pusat mendengar jeritan rakyat Batak. TPL bukan hanya merampas tanah ulayat, tapi juga merusak lingkungan dan mengikis kultur masyarakat adat. Cabut HGU TPL, kembalikan tanah ulayat kepada pemiliknya!” seru Dimpos.
Gelombang Penolakan Menguat
Seruan #TutupTPL kembali menggema di berbagai media sosial dan aksi-aksi lapangan. Masyarakat adat Batak bersama organisasi sipil menegaskan bahwa keberlanjutan hutan dan tanah ulayat adalah bagian dari identitas, bukan sekadar sumber ekonomi.
“Tanah bagi orang Batak adalah ‘Borhat-Borhat Ni Hita’ (jalan hidup kita). Jika tanah ulayat dirampas, maka budaya, ekonomi, dan keberlangsungan hidup ikut dirampas,” pungkas Dimpos.
(TIM)








